Selasa, 29 Mei 2012

Sumber Daya Alam Perikanan


Bab I

PENDAHULUAN


Pertambahan penduduk Indonesia yang relatif masih sangat tinggi membuat lahan daratan yang kosong menjadi semakin sempit. Dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup yang semakin meningkat akibat pertumbuhan penduduk tersebut mendorong bahkan memaksa bangsa Indonesia berangsur-angsur mengalihkan kegiatan ekonominya kearah laut, antara lain dengan jalan pemanfaatan sumberdaya alam laut. Salah satu sumberdaya alam laut tersebut yang cukup besar potensinya untuk dimanfaatkan yaitu sumberdaya perikanan (penangkapan), dimana potensinya mencapai 7,7 juta ton/tahun. Potensi tersebut sebagian besar dikelola oleh usaha-usaha nelayan kecil yang lazim disebut perikanan rakyat. Daerah operasi perikanan rakyat sangat terbatas pada daerah-daerah yang mudah dijangkau dari daratan saja, sehingga pengkapan ikan tetap berpusat disekitar pantai.
 Sebagai contoh Sulawesi Tenggara sebagai salah satu provinsi di Indonesia memiliki panjang garis pantai kurang lebih dari 1750 km dengan luas perairan 11.000.000 ha. Sebagian besar nelayan perikanan pantai di Sulawesi Tenggara masih mengembangkan metode penangkapan ikan yang diketahui secara turun menurun umumnya pengoperasian alat yang sebagian besar bersifat tradisional yaitu pancing, bubu, sero, pukat pantai, bagan tancap, trammel net, jaring insang tetap, jaring lingkar, sero, dan alat tangkap lain. Jumlah total dari semua alat tersebut yang di Sulawesi Tenggara mencapai 23.494 unit dengan total produksinya mencapai 69728,3 ton.
Untuk mengetahui tentang trend sumberdaya perikanan saat ini, daerah tangkapan, alat tangkap, jumlah produksinya serta bentuk pengolahan dapat dilakukan secara intensif apabila didukung oleh berbagai perangkat seperti nelayan itu sendiri, kapal serta pemerintah yang berkombinasi menjadi kesatuan.





Bab II

PEMBAHASAN


Perikanan adalah kegiatan manusia yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hayati perairan. Sumberdaya hayati perairan tidak dibatasi secara tegas dan pada umumnya mencakup ikan, amfibi dan berbagai avertebrata penghuni perairan dan wilayah yang berdekatan, serta lingkungannya. Di Indonesia, menurut UU RI no. 9/1985 dan UU RI no. 31/2004, kegiatan yang termasuk dalam perikanan dimulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Dengan demikian, perikanan dapat dianggap merupakan usaha agribisnis.
Umumnya, perikanan dimaksudkan untuk kepentingan penyediaan pangan bagi manusia. Selain itu, tujuan lain dari perikanan meliputi olahraga, rekreasi (pemancingan ikan), dan mungkin juga untuk tujuan membuat perhiasan atau mengambil minyak ikan.

Usaha perikanan adalah semua usaha perorangan atau badan hukum untuk menangkap atau membudidayakan (usaha penetasan, pembibitan, pembesaran) ikan, termasuk kegiatan menyimpan, mendinginkan atau mengawetkan ikan dengan tujuan untuk menciptakan nilai tambah ekonomi bagi pelaku usaha (komersial/bisnis).


SEJARAH PERIKANAN


Salah satu sejarah perdagangan dunia yang tertua yaitu perdagangan ikan cod kering dari daerah Lofoten ke bagian selatan Eropa, Italia, Spanyol dan Portugal. Perdagangan ikan ini dimulai pada periode Viking atau sebelumnya, yang telah berlangsung lebih dari 1000 tahun, namun masih merupakan jenis perdagangan yang penting hingga sekarang.

Di India, Pandyas, kerajaan Tamil Dravidian tertua, dikenal dengan tempat perikanan mutiara diambil sejak satu abad sebelum masehi. Pelabuhan Tuticorin dikenal dengan perikanan mutiara laut dalam. Paravas, bangsa Tamil yang berpusat di Tuticorin, berkembang menjadi masyarakat yang makmur oleh karena perdagangan mutiara mereka, pengetahuan ilmu pelayaran dan perikanan.


Pengelolaan sumberdaya ikan

Pengelolaan sumberdaya ikan adalah semua upaya termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan yang bertujuan agar sumberdaya ikan dapat dimanfaatkan secara optimal dan mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan yang terus menerus.

 

Penangkapan ikan

Penangkapan ikan merupakan kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, mengolah atau mengawetkannya. Usaha perikanan yang bekerja di bidang penangkapan tercakup dalam kegiatan perikanan tangkap (capture fishery).


Pembudidayaan ikan

Pembudidayaan ikan adalah kegiatan untuk memelihara, membesarkan dan/atau membiakkan ikan dan memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol.  Usaha perikanan yang berupa produksi hasil perikanan melalui budidaya dikenal sebagai perikanan budidaya atau budidaya perairan (aquaculture).

MASALAH PERIKANAN


Masalah kelautan dan perikanan dari tahun ke tahun adalah sama, tetapi kenapa kompleksitas permasalahan tersebut tidak kunjung terselesaikan? Lebih dari itu, permasalahan yang terjadi di dunia kelautan-perikanan berhadapan dengan egosentris antardepartemen dalam mengurus kavling masing-masing.
Selama ini peran Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) sebagai lokomotif pembangunan kelautan dan perikanan Indonesia belum optimal. Hal ini dicerminkan oleh lemahnya data perikanan Indonesia, kemiskinan masyarakat nelayan, lemahnya armada tangkap nasional, maraknya aksi illegal fishing (pencurian ikan) serta lemahnya penegakkan hukum, birokrasi yang berbelit-belit dalam pelayanan perizinan usaha perikanan, dan masih banyak lagi permasalahan kelautan dan perikanan lainnya yang belum terselesaikan.
Oleh karena itu sangat wajar, bila masyarakat perikanan di seluruh Indonesia mengharapkan terjadinya perubahan yang signifikan di dunia kelautan dan perikanan. Namun tidak bermaksud merendahkan kemampuan Menteri Kelautan dan Perikanan yang baru, penulis masih ragu hal ini dapat dituntaskan, karena permasalahan kelautan dan perikanan sangat kompleks dan klasik, sehingga penulis mengibaratkan permasalahan ini seperti “lagu lama, kopi baru”. Artinya, masalah kelautan dan perikanan dari tahun ke tahun adalah sama, tetapi kenapa kompleksitas permasalahan tersebut tidak kunjung terselesaikan? Lebih dari itu, permasalahan yang terjadi di dunia kelautan-perikanan berhadapan dengan ego sentris antardepartemen dalam mengurus kavling masing-masing.
Harapan tinggal harapan, karena kabinet telah terbentuk dan akan menjalankan tugasnya selama lebih kurang lima tahun. Yang harus kita lakukan sekarang ini adalah memantau program-program kerja yang akan dilaksanakan, serta memberikan tanggapan atas efektivitas dan efisiensi keberhasilan program kerja tersebut. Akankah di bawah nahkoda yang baru, dunia kelautan dan perikanan Indonesia semakin terurus dan maju?

Permasalahan Klasik

Seperti telah diuraikan sebelumnya, bahwa permasalahan kelautan dan perikanan Indonesia sangat kompleks. Lebih dari itu, permasalahan tersebut bersifat klasik yang diwariskan dari tahun ke tahun, sehingga ibarat dosa turun temurun. Adapun permasalahan klasik yang terjadi di dunia kelautan dan perikanan, di antaranya adalah sebagai berikut:
Pertama, lemahnya data perikanan, khususnya untuk data perikanan tangkap. Hingga saat ini, data perikanan tangkap Indonesia diperoleh dari pendaratan hasil tangkapan. Padahal tidak bisa dipungkiri bahwa tempat-tempat pendataan ikan (Tempat Pelelangan Ikan/TPI) di beberapa daerah hampir tidak ada atau keberadaannya tidak merata. Kalau pun ada, fungsi TPI tidak berperan sehingga mengakibatkan masyarakat nelayan terjebak permainan tengkulak. Dengan demikian, TPI yang juga berfungsi sebagai pencatat pendaratan ikan tidak berperan sebagaimana mestinya. Selain itu, pihak pengusaha yang mendaratkan ikannya juga kerap memberikan data yang tidak sebenarnya alias di bawah data hasil tangkapan yang diperoleh.
Lemahnya data perikanan tersebut akan berdampak pada biasnya kebijakan yang akan dikeluarkan atau diputuskan. Misalnya saja, di suatu daerah tidak memiliki TPI (Tempat Pelelangan Ikan), sementara perizinan penangkapan ikan terus dikeluarkan. Akibatnya adalah over-fishing dan kemiskinan nelayan yang disertai konflik di wilayah laut tersebut, baik konflik kelas sosial, konflik fishing ground, maupun konflik identitas (primordial). Lebih dari itu, lemahnya data perikanan tangkap tersebut berdampak pada rawannya hubungan dagang internasional, karena akuntabilitas dan akuratibilitas data harus dilandasi oleh bukti ilmiah terbaik (the best scientific evidence) sebagaimana yang dituangkan Pasal 61 UNCLOS 1982.
Ketentuan internasional lainnya yang mensyaratkan bukti ilmiah terbaik, di antaranya yaitu Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF 1995), dan International Plan of Action-Illegal Unreported Unregulated Fishing (IPOA-IUU 1999). Berdasarkan ketentuan perikanan internasional itu, lemahnya data perikanan dapat mengakibatkan kerawanan dalam perdagangan perikanan Indonesia di pasar internasional. Namun demikian, masalah lemahnya data perikanan Indonesia mulai mendapatkan perhatian pemerintah pada Undang-undang Perikanan yang baru disahkan, yaitu pada Bab VI tentang Sistem Informasi Data Statistik Perikanan. Namun bagaimana nanti aplikasinya? kita lihat nanti.
Kedua, kemiskinan masyarakat nelayan. Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa masyarakat nelayan Indonesia hingga saat ini masih terjebak dalam lingkaran kemiskinan (vicious circle). Panjang pantai 81.000 km beserta kekayaan sumberdaya alamnya, semestinya dapat mensejahterakan masyarakat pesisir, khususnya nelayan. Akan tetapi yang terjadi malah sebaliknya, semakin panjang pantai maka semakin banyak penduduk miskin di Indonesia. Hal ini dikarenakan, wilayah pesisir dan pantai Indonesia merupakan tempat atau kantung-kantung kemiskinan masyarakat nelayan.
Secara teoritis, ada tiga hal yang menjadi penyebab utama kemiskinan nelayan, yaitu alamiah (kondisi lingkungan sumberdaya), kultural (budaya), dan struktural (keberpihakan pemerintah). Dari ketiga penyebab itu, masalah struktural merupakan faktor penting dan paling dominan, sehingga sangat diperlukan kebijakan pemerintah yang berpihak pada kehidupan masyarakat nelayan, khususnya nelayan kecil (tradisional). Dengan demikian, kontinuitas keberpihakan pemerintah yang diejawantahkan dengan program-program pemberdayaan harus tetap digalakkan sesuai Bab IX Undang-undang Perikanan yang baru. Tentu saja, kebijakan yang ditujukan pada masyarakat nelayan harus disesuaikan dengan karakteristik masyarakat serta karakteristik sumberdaya (geografis)-nya.
Ketiga, lemahnya armada perikanan tangkap nasional. Berbagai sumber menyebutkan bahwa dari 7.000 kapal ikan yang beroperasi di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), sekitar 70 persen di antaranya merupakan milik asing. Selain itu, armada perikanan tangkap Indonesia sebagian besar memiliki produktivitas yang amat rendah yaitu hanya 8 ton/kapal/tahun. Penulis sangat sedih akan data itu, ini memunculkan pertanyaan apakah pemerintah tidak mempunyai kebijakan untuk menciptakan armada perikanan tangkap nasional sebagai tuan rumah di negerinya sendiri?
Keempat, permasalahan illegal fishing (pencurian ikan) dan lemahnya penegakkan hukum yang telah menghilangkan potensi ekspor perikanan Indonesia sebesar 4 miliar dolar AS. Selain merugikan negara, illegal fishing juga merugikan nelayan tradisional karena mereka menggunakan alat tangkap jenis trawl yang menyebabkan kerusakan lingkungan laut yang berujung pada penciptaan rendahnya pendapatan nelayan.
Kelima, pelayanan perizinan usaha perikanan yang berbelit-belit dan syarat dengan pungutan liar. Seperti yang diberitakan Majalah Samudera (Edisi 19, Oktober 2004) disebutkan bahwa total besaran biaya tambahan yang harus dikeluarkan untuk setiap pembuatan perizinan kapal asing agar bisa keluar cepat harus mengeluarkan uang berkisar Rp 40 juta sampai Rp 100 juta tergantung dari jenis alat tangkap yang digunakan, daerah tangkapan, dan jumlah kapal yang diurus.
Dengan demikian, sudah dapat dipastikan miliaran rupiah uang siluman yang berkeliaran sejak dikeluarkannya Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No 46/Men/2001 tentang Pendaftaran Ulang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan. Padahal, izin itu bisa diselesaikan dalam jangka waktu 16 hari tanpa biaya tambahan sesuai Pasal 9 Kepmenlutkan No 10 Tahun 2003 tentang Perizinan Usaha Penangkapan Ikan.


"Turning the Tide" Kebijakan Ekonomi Perikanan

ADA nuansa baru dari pernyataan Menteri Kelautan dan Perikanan di Kompas (14/7) mengenai perlunya pengurangan jumlah nelayan hingga 50 persen. Pernyataan tersebut bisa dikatakan suatu terobosan, mengingat selama ini arus utama program Departemen Kelautan dan Perikanan adalah meningkatkan produksi perikanan dengan segala konsekuensinya-termasuk tentu saja meningkatnya jumlah angkatan kerja perikanan alias nelayan. Di sisi lain, permintaan untuk menurunkan jumlah nelayan sebesar 50 persen tentu saja banyak menimbulkan pertanyaan mengingat kondisi ekonomi masyarakat di negeri ini.

Pembangunan perikanan memang seperti paradoks. Sumber daya perikanan yang potensial dan mampu menggenjot penerimaan ekonomi yang tinggi ternyata tidak tercermin dari kesejahteraan
para pelaku perikanan itu sendiri. Nelayan Indonesia masih tergolong kelompok masyarakat miskin dengan pendapatan per kapita per bulan sekitar 7-10 dollar AS.

Indikator ekonomi keragaan perikanan juga belum menunjukkan angka yang menggembirakan. Kontribusi dari sektor perikanan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih berkisar dua persen.

Degradasi lingkungan yang terjadi juga memprihatinkan. Kondisi yang diametrikal ini tentu saja kalau dibiarkan akan memperburuk kinerja perikanan itu sendiri. Ada beberapa hal yang perlu
dipikirkan dengan jernih mengenai kebijakan ekonomi perikanan selama ini.

Pertama, salah satu penyebab rendahnya kinerja perikanan adalah karena terjadinya economic
overfishing, bukan Malthusian overfishing. Artinya, selain rasio antara biaya dan harga yang terlalu tinggi, perikanan Indonesia sebenarnya telah mengalami overcapacity di beberapa wilayah pesisir di Indonesia.

Kapasitas perikanan di sini tidak semata hanya menyangkut jumlah nelayan, namun juga terkait dengan indeks dari berbagai input yang digunakan, seperti jumlah trip, jumlah kapal, tonnage, day-fished, dan sebagainya. Dengan demikian, pengurangan jumlah nelayan semata tidak akan menyelesaikan permasalahan economic overfishing yang terjadi.

Penelitian penulis di beberapa wilayah di pantai utara (Pantura) Jawa misalnya, mengindikasikan bahwa kapasitas perikanan di wilayah tersebut sudah melebihi 35 persen dari kapasitas bioeconomic optimal. Hal ini senada dengan terjadinya overcapacity secara global yang sudah diklaim oleh Greboval dan Munro (1998). Dengan demikian, pengurangan jumlah nelayan di samping tidak akan menyelesaikan permasalahan economic overfishing, dikhawatirkan malah akan menimbulkan masalah baru.

Bagi perikanan di negara berkembang seperti Indonesia, hal tersebut dapat berakibat kurang baik
di tengah tingginya angka pengangguran dan sulitnya memperoleh lapangan kerja. Selama ini sektor perikanan dianggap sebagai employment of the last resort sehingga pengurangan jumlah nelayan hingga separuhnya bisa jadi akan menimbulkan biaya sosial yang cukup tinggi.
Efisiensi perikanan Strategi kunci pada pengurangan kapasitas perikanan adalah membuat perikanan seefisien mungkin. Hal ini dapat dilakukan dengan cara adaptive rationalitation di mana pengurangan kapasitas dilakukan secara adaptif dengan mempertimbangkan lokasi, ketersediaan sumber daya, dan kinerja ekonomi regional. Rasionalisasi yang adaptif juga bersifat dinamis, artinya dia mampu beradaptasi dengan perubahan geo politik yang terjadi di wilayah wilayah pesisir maupun nasional.
Kedua, seperti sering disinyalir, pelaku perikanan menghadapi permasalahan permodalan yang tidak kondusif. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah kemudian memberikan berbagai fasilitas kredit untuk perikanan. Justru di sinilah kemudian dilema timbul. Dalam kaitannya dengan sektor perikanan, subsidi dalam bentuk kredit memang telah lama menjadi bahan
perdebatan, mengingat implikasinya yang unik terhadap sumber daya perikanan.

Dokumen Bank Dunia yang ditulis secara komprehensif oleh Milazzo (1998) menunjukkan bahwa secara global, subsidi yang diberikan kepada perikanan, baik dalam bentuk skim kredit maupun hibah telah mencapai 14-20 miliar dollar AS, setara dengan 17-25 persen total penerimaan dari perikanan. Secara keseluruhan, subsidi sebesar itu kembali
menyebabkan terjadinya overcapacity di bidang perikanan seperti yang disebutkan di atas. Subsidi untuk perikanan sering
diklaim hanya menimbulkan economic waste.
Pengalaman pemberian kredit di negara lain mungkin dapat memperkuat klaim di atas.
Sebagai contoh, Pemerintah Belanda memberikan skim kredit besar-besaran terhadap industri perikanan mereka yang sempat guncang setelah Perang Dunia II.

Dengan dana sebesar 45 juta gulden, dalam jangka pendek kredit tersebut telah menimbulkan dampak positif terhadap sektor perikanan Belanda. Operasi kapal pukat nelayan menjadi semakin luas dan peningkatan produksinya signifikan. Namun demikian, dalam jangka panjang, subsidi tersebut telah menyebabkan peningkatan kapasitas perikanan
sehingga menyebabkan turunnya produktifitas.

Demikian pula halnya dengan perikanan di Thailand. Program subsidi yang dimulai sekitar tahun 1994 telah menyebabkan 70 persen dari kapal purse seine dan gillnet dikonversi menjadi pukat yang
kemudian digunakan untuk menangkap ikan-ikan demersal yang sudah mengalami biological overfishing.

Dari contoh di atas tampak bahwa subsidi perikanan sering menjadi pedang bermata dua. Dilihat dalam kerangka jangka pendek, subsidi tersebut memang dapat membantu industri perikanan untuk mencapai akselerasi produktifitas. Namun dalam perspektif jangka panjang, subsidi justru dikhawatirkan akan meningkatkan kapasitas perikanan yang berakibat
pada penurunan manfaat ekonomi dan timbulnya over eksploitasi sumber daya perikanan.



Strategi subsidi di bidang perikanan harus dilakukan secara cermat dengan mengacu pada karakteristik sumber daya perikanan. Subsidi perikanan hanya akan efektif bila upaya di sektor perikanan benar-benar dikendalikan oleh sistem pengelolaan sumber daya yang baik.Pada pengelolaan di mana output benar-benar dikendalikan, misalnya, maka subsidi
akan mengarah kepada peningkatan rent (profit), bukan kepada output yang justru akan menambah degradasi sumber daya.

Subsidi yang dirancang untuk mengurangi kapasitas perikanan atau good subsidy seperti program buy back sudah pernah dicoba di beberapa negara dan berhasil mengurangi kapasitas perikanan.

Ketiga, penggunaan economic instrument dalam pengelolaan perikanan kalau tidak
dipahami dengan benar akan menimbulkan distorsi pada industri perikanan itu sendiri. Sebagai contoh, di era otonomi daerah sering terjadi feeding frenzy penerapan pajak dan berbagai pungutan perikanan untuk peningkatan PAD. Hal ini selain menimbulkan biaya
transaksi yang tinggi, juga akan semakin meningkatkan laju eksploitasi sumber daya karena pelaku yang dikenakan pungutan yang berlebihan akan mengompensasikannya dengan
menangkap ikan secara berlebihan pula.

Instrumen ekonomi yang terbaik untuk perikanan adalah dengan penerapan user fee principle. Secara umum dapat dikatakan bahwa penggunaan instrumen ekonomi untuk mengoreksi eksternalitas yang ditimbulkan oleh tangkap lebih haruslah didasarkan pada ketersediaan sumber daya yang menghasilkan rente ekonomi dan tidak menimbulkan biaya
terhadap masyarakat secara keseluruhan.


Penentuan user fee yang tepat akan memberikan sinyal yang kuat kepada pelaku perikanan untuk memperlakukan sumber daya ikan sebagai aset yang bernilai ekonomi tinggi sehingga tidak dieksploitasi berlebihan.
Implementasi kebijakan ekonomi perikanan memang diakui cukup kompleks, mengingat sumber daya perikanan memiliki ciri yang unik dan memerlukan penanganan secara hati-hati. Dengan kemauan politis yang tinggi dari pemerintah, potensi perikanan yang konon begitu besar bisa saja dimanfaatkan secara optimal jika saja prinsip-prinsip kebijakan ekonomi yang tepat diterapkan. Untuk itu diperlukan upaya membalik gelombang (turning the tide) terhadap pendekatan kebijakan ekonomi perikanan yang bisa menyesatkan.

Strategi lainnya adalah menjalankan kebijakan yang berorientasi pada pro poor,pro job dan pro growth. Yakni kebijakan yang berpihak pada peningkatan peluang lapangan pekerjaan bagi masyarakat nelayan skala kecil, dan memberikan dampak yang nyata dalam pertumbuhan ekonomi masyarakat (Berita lengkap, simak Gatra 18 April 2007). Bila berbagai kerja-kerja tersebut bila dilakukan secara maksimal dan kolaboratif dengan semua pihak, maka tindakan tersebut juga akan mendukung International Year of the Reef (IYOR) yang tengah berjalan tahun 2008 ini.Apa yang tengah dilakukan Pemerintah juga bisa menjadi peluang sekaligus tantangan yang akan diperdebatkan dalam World Ocean Conference (WOC) di Manado nanti.  (Sumber :Balai Riset Perikanan Laut Indonesia)



Tugas, Pokok dan Fungsi Kelautan dan Perikanan


21/11/2008
Pasal 300

Direktorat Kelautan dan Perikanan mempunyai tugas melaksanakan penyiapan perumusan kebijakan, koordinasi, sinkronisasi pelaksanaan penyusunan dan evaluasi perencanaan pembangunan nasional di bidang kelautan dan perikanan, serta pemantauan dan penilaian atas pelaksanaannya.

Pasal 30
1

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 300, Direktorat Kelautan dan Perikanan menyelenggarakan fungsi:
a.                 penyiapan perumusan kebijakan perencanaan pembangunan nasional di bidang kelautan dan perikanan;
b.                koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan perencanaan pembangunan nasional di bidang kelautan dan perikanan;
c.                 penyusunan rencana pembangunan nasional di bidang kelautan dan perikanan dalam jangka panjang, menengah, dan tahunan;
d.                pengkajian kebijakan perencanaan pembangunan nasional di bidang kelautan dan perikanan;
e.                 pemantauan, evaluasi, dan penilaian kinerja pelaksanaan rencana pembangunan nasional di bidang kelautan dan perikanan;
f.                 penyusunan rencana kerja pelaksanaan tugas dan fungsinya serta evaluasi dan pelaporan pelaksanaannya;
g.                melakukan koordinasi pelaksanaan kegiatan-kegiatan pejabat fungsional perencana di lingkungan direktoratnya.







Pasal 302

Direktorat Kelautan dan Perikanan terdiri dari:
a. Sub Direktorat Laut, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil;
b. Sub Direktorat Perikanan;
c. Sub Direktorat Kelembagaan Kelautan dan Perikanan.


Pasal 303

Sub Direktorat Laut, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil mempunyai tugas melaksanakan pengkajian kebijakan dan penyiapan penyusunan rencana pembangunan nasional di bidang laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil, serta melaksanakan pemantauan, evaluasi, penilaian, dan pelaporan atas pelaksanaannya.

Pasal 304

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 303, Sub Direktorat Laut, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil menyelenggarakan fungsi:
a.                 pengkajian kebijakan di bidang laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil;
b.                pelaksanaan koordinasi dan sinkronisasi perencanaan pembangunan nasional di bidang laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil;
c.                penyusunan rencana pembangunan nasional di bidang laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil;
d.               penyusunan rencana pendanaan pembangunan di bidang laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil;
e.                pelaksanaan inventarisasi dan analisis berbagai kebijakan dan informasi yang berkaitan dengan penyiapan rencana pendanaan pembangunan di bidang laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil;
f.                 pemantauan, evaluasi, penilaian, dan pelaporan atas pelaksanaan rencana, kebijakan, dan program-program pembangunan di bidang laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil.

Pasal 305

Sub Direktorat Perikanan mempunyai tugas melaksanakan pengkajian kebijakan dan penyiapan penyusunan rencana pembangunan nasional di bidang perikanan, serta melaksanakan pemantauan, evaluasi, penilaian, dan pelaporan atas pelaksanaannya.

Pasal 306

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 305, Sub Direktorat Perikanan menyelenggarakan fungsi:
a.                 pengkajian kebijakan di bidang perikanan;
b.                pelaksanaan koordinasi dan sinkronisasi perencanaan pembangunan nasional di bidang perikanan;
c.                 penyusunan rencana pembangunan nasional di bidang perikanan;
d.                penyusunan rencana pendanaan pembangunan di bidang perikanan;
e.                pelaksanaan inventarisasi dan analisis berbagai kebijakan dan informasi yang berkaitan dengan penyiapan rencana pendanaan pembangunan di bidang perikanan;
f.                 pemantauan, evaluasi, penilaian, dan pelaporan atas pelaksanaan rencana, kebijakan, dan program-program pembangunan di bidang perikanan.

Pasal 307

Sub Direktorat Kelembagaan Kelautan dan Perikanan mempunyai tugas melaksanakan pengkajian kebijakan dan penyiapan penyusunan rencana pembangunan nasional di bidang kelembagaan kelautan dan perikanan, serta melaksanakan pemantauan, evaluasi, penilaian, dan pelaporan atas pelaksanaannya.

Pasal 308

Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 307, Sub Direktorat Kelembagaan Kelautan dan Perikanan menyelenggarakan fungsi:
a.                 pengkajian kebijakan di bidang kelembagaan kelautan dan perikanan;
b.                pelaksanaan koordinasi dan sinkronisasi perencanaan pembangunan nasional di bidang kelembagaan kelautan dan perikanan;
c.                penyusunan rencana pembangunan nasional di bidang kelembagaan kelautan dan perikanan;
d.               penyusunan rencana pendanaan pembangunan di bidang kelembagaan kelautan dan perikanan;
e.                pelaksanaan inventarisasi dan analisis berbagai kebijakan dan informasi yang berkaitan dengan penyiapan rencana pendanaan pembangunan di bidang kelembagaan kelautan dan perikanan;
f.                 pemantauan, evaluasi, penilaian, dan pelaporan atas pelaksanaan rencana, kebijakan, dan program-program pembangunan di bidang kelembagaan kelautan dan perikanan.

SUMBER DAYA LAINNYA



Sumber daya alam dapat dibedakan berdasarkan sifat, potensi, dan jenisnya.
a. Berdasarkan sifat

Menurut sifatnya, sumber daya alam dapat dibagi 3, yaitu sebagai berikut :

1. Sumber daya alam yang terbarukan (renewable), misalnya: hewan,
tumbuhan, mikroba, air, dan tanah. Disebut ter barukan karena dapat
melakukan reproduksi dan memiliki daya regenerasi (pulih kembali).
2. Sumber daya alam yang tidak terbarukan (nonrenewable), misalnya:
minyak tanah, gas bumf, batu tiara, dan bahan tambang lainnya.
3. Sumber daya alam yang tidak habis, misalnya, udara, matahari,

energi pasang surut, dan energi laut.

b. Berdasarkan potensi

Menurut potensi penggunaannya, sumber daya alam dibagi beberapa macam, antara lain sebagai berikut.

1. Sumber daya alam materi; merupakan sumber daya alam yang
dimanfaatkan dalam bentuk fisiknya. Misalnya, batu, besi, emas,
kayu, serat kapas, rosela, dan sebagainya.
2. Sumber daya alam energi; merupakan sumber daya alam yang
dimanfaatkan energinya. Misalnya batu bara, minyak bumi, gas bumi,
air terjun, sinar matahari, energi pasang surut laut, kincir angin, dan
lain-lain.
3. Sumber daya alam ruang; merupakan sumber daya alam yang berupa
ruang atau tempat hidup, misalnya area tanah (daratan) dan
angkasa.

c. Berdasarkan jenis

Menurut jenisnya, sumber daya alam dibagi dua sebagai berikut :

1. Sumber daya alam nonhayati (abiotik); disebut juga sumber daya
alam fisik, yaitu sumber daya alam yang berupa benda-benda mati.
Misalnya : bahan tambang, tanah, air, dan kincir angin.
2. Sumber daya alam hayati (biotik); merupakan sumber daya alam
yang berupa makhluk hidup. Misalnya: hewan, tumbuhan, mikroba,
dan manusia.
Uraian di sini hanya akan ditekankan pada sumber daya alam hayati, termasuk di dalamnya sumber daya manusia (SDM).


Berbicara tentang sumber daya alam tumbuhan kita tidak dapat menyebutkan jenis tumbuhannya, melainkan kegunaannya. Misalnya berguna untuk pangan, sandang, pagan, dan rekreasi. Akan tetapi untuk bunga-bunga tertentu, seperti melati, anggrek bulan, dan Rafflesia arnoldi merupakan pengecualian karena ketiga tanaman bunga tersebut sejak tanggal 9 Januari 1993 telah ditetapkan dalam Keppres No. 4 tahun 1993 sebagai bunga nasional dengan masing-masing gelar sebagai berikut.

1.                Melati sebagai bunga bangsa.
2. Anggrek bulan sebagai bunga pesona.
3. Raffiesia arnoldi
sebagai bunga langka.

Tumbuhan memiliki kemampuan untuk menghasilkan oksigen dan tepung melalui proses fotosintesis. Oleh karena itu, tumbuhan merupakan produsen atau penyusun dasar rantai makanan.
Eksploitasi tumbuhan yang berlebihan dapat mengakibatkan kerusakan dan kepunahan, dan hal ini akan berkaitan dengan rusaknya rantai makanan.
Kerusakan yang terjadi karena punahnya salah satu faktor dari rantai makanan akan berakibat punahnya konsumen tingkat di atasnya. Jika suatu spesies organisme punah, maka spesies itu tidak pernah akan muncul lagi. Dipandang dari segi ilmu pengetahuan, hal itu merupakan suatu ke rugian besar.
Selain telah adanya sumber daya tumbuhan yang punah, beberapa jenis tumbuhan langka terancam pula oleh kepunahan, misalnya Rafflesia arnoldi (di Indonesia) dan pohon raksasa kayu merah (Giant Redwood di Amerika). Dalam mengeksploitasi sumber daya tumbuhan, khususnya hutan, perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut.

a. Tidak melakukan penebangan pohon di hutan dengan semena-mena
(tebang habis).
b. Penebangan kayu di hutan dilaksanakan dengan terencana dengan
sistem tebang pilih (penebangan selektif). Artinya, pohon yang
ditebang adalah pohon yang sudah tua dengan ukuran tertentu yang
telah ditentukan.
c. Cara penebangannya pun harus dilaksanakan sedemikian rupa
sehingga tidak merusak pohon-pohon muda di sekitarnya.
d. Melakukan reboisasi (reforestasi), yaitu menghutankan kembali hutan
yang sudah terlanjur rusak.
e. Melaksanakan aforestasi, yaitu menghutankan daerah yang bukan
hutan untuk mengganti daerah hutan yang digunakan untuk keperluan
lain.
f. Mencegah kebakaran hutan.
Kerusakan hutan yang paling besar dan sangat merugikan adalah kebakaran hutan. Diperlukan waktu yang lama untuk mengembalikannya menjadi hutan kembali.

Hal-hal yang sering menjadi penyebab kebakaran hutan antara lain sebagai berikut :

a. Musim kemarau yang sangat panjang.
b. Meninggalkan bekas api unggun yang membara di hutan.
c. Pembuatan arang di hutan.
d. Membuang puntung rokok sembarangan di hutan.
Untuk mengatasi kebakaran hutan diperlukan hal-hal berikut ini.
a. Menara pengamat yang tinggi dan alat telekomunikasi.
b. Patroli hutan untuk mengantisipasi kemungkinan kebakaran.
c. Sistem transportasi mobil pemadam kebakaran yang siap digunakan.
Pemadaman kebakaran hutan dapat dilakukan dengan dua cara seperti berikut ini :
a. Secara langsung dilakukan pada api kecil dengan penyemprotan air.
b. Secara tidak langsung pada api yang telah terlanjur besar, yaitu
melokalisasi api dengan membakar daerah sekitar kebakaran, dan
mengarahkan api ke pusat pembakaran. Biasanya dimulai dari daerah
yang menghambat jalannya api, seperti: sungai, danau, jalan, dan
puncak bukit.



Pengelolaan hutan seperti di atas sangat penting demi pengawetan maupun pelestariannya karena banyaknya fungsi hutan seperti berikut ini :

1. Mencegah erosi; dengan adanya hutan, air hujan tidak langsung jatuh
ke permukaan tanah, dan dapat diserap oleh akar tanaman.
2. Sumber ekonomi; melalui penyediaan kayu, getah, bunga, hewan, dan
sebagainya.
3. Sumber plasma nutfah; keanekaragaman hewan dan tumbuhan di
hutan memungkinkan diperolehnya keanekaragaman gen.
4. Menjaga keseimbangan air di musim hujan dan musim kemarau.
Dengan terbentuknya humus di hutan, tanah menjadi gembur. Tanah
yang gembur mampu menahan air hujan sehingga meresap ke dalam
tanah, resapan air akan ditahan oleh akar-akar pohon. Dengan
demikian, di musim hujan air tidak berlebihan, sedangkan di musim
kemarau, danau, sungai, sumur dan sebagainya tidak kekurangan air.

3. Sumber Daya Hewan


Seperti pada ketiga macam bunga nasional, sejak tanggal 9-1-1995, ditetapkan pula tiga satwa nasional sebagai berikut :

1. Komodo (Varanus komodoensis) sebagai satwa nasional darat.
2. Ikan Solera merah sebagai satwa nasional air.
3. Elang jawa sebagai satwa nasional udara.

Selain ketiga satwa nasional di atas, masih banyak satwa Indonesia yang langka dan hampir punah. Misalnya Cendrawasih, Maleo, dan badak bercula satu.
Untuk mencegah kepunahan satwa langka, diusahakan pelestarian secara in situ dan ex situ. Pelestarian in situ adalah pelestarian yang dilakukan di habitat asalnya, sedangkan pelestarian ex situ adalah pelestarian satwa langka dengan memindahkan satwa langka dari habitatnya ke tempat lain.


Sumber daya alam hewan dapat berupa hewan liar maupun hewan yang sudah dibudidayakan. Termasuk sumber daya alam satwa liar adalah penghuni hutan, penghuni padang rumput, penghuni padang ilalang, penghuni steppa, dan penghuni savana. Misalnya badak, harimau, gajah, kera, ular, babi hutan, bermacam-macam burung, serangga, dan lainnya.
Termasuk sumber daya alam hewan piaraan antara lain adalah lembu, kuda, domba, kelinci, anjing, kucing, bermacam- macam unggas, ikan hias, ikan lele dumbo, ikan lele lokal, kerang, dan siput.

Terhadap hewan peliharaan itulah sifat terbarukan dikembangkan dengan baik. Selain memungut hasil dari peternakan dan perikanan, manusia jugs melakukan persilangan untuk mencari bibit unggul guns menambah keanekaragaman ternak.



Dipandang dari peranannya, hewan dapat digolongkan sebagai berikut :

a. Sumber pangan, antara lain sapi, kerbau, ayam, itik, lele, dan mujaer.
b. Sumber sandang, antara lain bulu domba dan ulat sutera.
c. Sumber obat-obatan, antara lain ular kobra dan lebah madu.
d. Piaraan, antara lain kucing, burung, dan ikan hiss.

Untuk menjaga kelestarian satwa Langka, maka penangkapan hewan-hewan dan juga perburuan haruslah mentaati peraturan tertentu seperti berikut ini :
1. Para pemburu harus mempunyai lisensi (surat izin berburu).
2. Senjata untuk berburu harus tertentu macamnya.
3. Membayar pajak dan mematuhi undang-undang perburuan.

4. Harus menyerahkan sebagian tubuh yang diburunya kepada petugas
sebagai tropy, misalnya tanduknya.
5. Tidak boleh berburu hewan-hewan langka.
6. Ada hewan yang boleh ditangkap hanya pada bulan-bulan tertentu
saja. Misalnya, ikan salmon pada musim berbiak di sungai tidak boleh
ditangkap, atau kura-kura pads musim akan bertelur.
7. Harus melakukan konvensi dengan baik. Konuensi ialah aturan-aturan
yang tidak tertulis tetapi harus sudah diketahui oleh si pemburu
dengan sendirinya. Misalnya, tidak boleh menembak hewan buruan
yang sedang bunting, dan tidak boleh membiarkan hewan buas
buruannya lepas dalam keadaan terluka.

Akan tetapi, seringkali peraturan-peraturan tersebut tidak ditaati bahkan ada yang diam-diam memburu satwa langka untuk dijadikan bahan komoditi yang berharga. Satwa yang sering diburu untuk diambil kulitnya antara lain macan, beruang, dan ular, sedangkan gajah diambil gadingnya.

4. Sumber Daya Mikroba


Di samping sumber daya alam hewan dan tumbuhan terdapat sumber daya alam hayati yang bersifat mikroskopis, yaitu mikroba. Selain berperan sebagai dekomposer (pengurai) di dalam ekosistem, mikroba sangat penting artinya dalam beberapa hal seperti berikut ini :

a.                 sebagai bahan pangan atau mengubah bahan pangan menjadi bentuk
lain, seperti tape, sake, tempe, dan oncom
b. penghasil obat-obatan (antibiotik), misalnya, penisilin
c. membantu penyelesaian masalah pencemaran, misalnya pembuatan
biogas dan daur ulang sampah
d. membantu membasmi hama tanaman,
misalnya Bacillus thuringiensis
e. untuk rekayasa genetika, misalnya, pencangkokan gen virus dengan
gen sel hewan untuk menghasilkan interferon yang dapat melawan
penyakit karena virus.

Rekayasa genetika dimulai Tahun 1970 oleh Dr. Paul Berg. Rekayasa genetika adalah penganekaragaman genetik dengan memanfaatkan fungsi materi genetik dari suatu organisme. Cara-cara rekayasa genetika tersebut antara lain: kultur jaringan, mutasi buatan, persilangan, dan pencangkokan gen. Rekayasa genetika dapat dimanfaatkan untuk tujuan berikut ini :

1. mendapatkan produk pertanian baru, seperti "pomato", merupakan
persilangan dari potato (kentang) dan tomato (tomat)
2. mendapatkan temak yang berkadar protein lebih tinggi
3. mendapatkan temak atau tanaman yang tahan hama
4. mendapatkan tanaman yang mampu menghasilkan insektisida sendiri.

Akhir-akhir ini tampak bahwa penggunaan sumber daya alam cenderung naik terus, karena:

a. pertambahan penduduk yang cepat
b. perkembangan peradaban manusia yang didukung oleh kemajuan sains
dan teknologi.
Oleh karena itu, agar sumber daya alam dapat bermanfaat dalam waktu yang panjang maka hal-hal berikut sangat perlu dilaksanakan.

1. Sumber daya alam harus dikelola untuk mendapatkan manfaat yang
maksimal, tetapi pengelolaan sumber daya alam harus diusahakan
agar produktivitasnya tetap berkelanjutan.
2. Eksploitasinya harus di bawah batas daya regenerasi atau asimilasi
sumber daya alam.
3. Diperlukan kebijaksanaan dalam pemanfaatan sumber daya alam yang
ada agar dapat lestari dan berkelanjutan dengan menanamkan
pengertian sikap serasi dengan lingkungannya.
4. Di dalam pengelolaan sumber daya alam hayati perlu adanya

pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :

a. Teknologi yang dipakai tidak sampai merusak kemampuan sumber
daya untuk pembaruannya.
b. Sebagian hasil panen harus digunakan untuk menjamin
pertumbuhan sumber daya alam hayati.
c. Dampak negatif pengelolaannya harus ikut dikelola, misalnya
dengan daur ulang.
d. Pengelolaannya harus secara serentak disertai proses
pembaruannya.

5. Sumber Daya Manusia


Manusia dibedakan dari sumber daya alam hayati lainnya karena manusia memiliki kebudayaan, akal, dan budi yang tidak dimiliki oleh tumbuhan maupun hewan. Meskipun paling tinggi derajatnya, namun dalam ekosistem, manusia juga berinteraksi dengan lingkungannya, mempengaruhi dan dipengaruhi lingkungannya sehingga termasuk dalam salah satu faktor saling ketergantungan. Berbeda dengan sumber daya hayati lainnya,

penggunaan sumber daya manusia dibagi dua, yaitu sebagai berikut :


a. Manusia sebagai sumber daya fisik

Dengan energi yang tersimpan dalam ototnya manusia dapat bekerja dalam berbagai bidang, antara lain: bidang perindustrian, transportasi, perkebunan, perikanan, perhutanan, dan peternakan.

b. Manusia sebagai sumber daya mental

Kemampuan berpikir manusia merupakan suatu sumber daya alam
yang sangat penting, karena berfikir merupakan landasan utama bagi
kebudayaan. Manusia sebagai makhluk hidup berbudaya, mampu mengolah sumber daya alam untuk kepentingan hidupnya dan mampu mengubah keadaan sumber daya alam berkat kemajuan ilmu dan teknologinya. Dengan akal dan budinya, manusia menggunakan sumber daya alam dengan penuh kebijaksanaan. Oleh karena itu, manusia tidak dilihat hanya sebagai sumber energi, tapi yang terutama ialah sebagai sumber daya cipta (sumber daya mental) yang
sangat penting bagi perkembangan kebudayaan manusia.












Kesimpulan :


Kita sebagai manusia yang diberikan akal lebih di bandingkan makhluk Tuhan lainnya berfikir untuk melestarikan dan menjaga sumber daya perikanan dan sumber daya lainnya, jangan hanya untuk keuntungan semata dengan mengorbankan sumber daya yang ada, sebagai contoh memancing jangan menggunakan pukat harimau, bom ikan, dan lain-lain yang mengganggu sumber daya laut dan rantai makanan mereka. Pemerintah juga sudah berperan aktif menjaga sumber daya alam dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang harus di taati dan dilaksanak oleh masyarakat luas, agar generasi berikutnya masih merasakan sumber daya alam yang kita rasakan sekarang.








































DAFTAR PUSTAKA



1 komentar: